Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 juli 1922. Ia merupakan anak
satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, Keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh
Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia
dijuluki sebagai “Si Bintang Jalang” ( dari karyanya yang berjudul Aku ), adalah
penyair terkemuka Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan
pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis
merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji
Pustaka untuk dimuat, banyak yang di tolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak
sesuai dengan Semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Puisi Chairil Anwar menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian,
individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi interpretasi.
Selama hidupnya, Chairil telah menulis puisinya sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi
kebnyakan tidak di publikasihkan hingga kematiannya. Puisi Chairil berjudul Cemara Menderai
Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling terkeal berjudul Aku
dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang di duga diciplak,
dikompilasidalam tiga buku yang di terbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul
Deru Campur Debu (1949), keudian di susul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus
(1949), dan Tiga menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Berikut diantaranya puisi-puisi karya Chairil Anwar :
MALAM
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,
KRAWANG-BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi