Ronny Pattisarany



Ronald Hermanus Pattisarany atau lebih dikenal dengan nama Ronny Pattisarany (lahir di
Makasar, Sulawesi Selatan, 9 Februari 1949- meninggal di Jakarta, 19 September 2008 pada
umur 59  tahun) adalah pelatih sepak bola Indonesia yang salah satu pemain sepak bola
Legendaris Indonesia.
Era 1970-an hingga 1980-an, saat sepak bola Indonesia menjadi salah satu raksaa di Asia,
Ronny Pattisarany menjadi salah satu yang ikut melambungkan nama tim merah putih. Pria
berdarah Ambon yang lahir di Makasar itu dikenal sebagai sosok pemain papan atas.

Penghargaan yang di peroleh seperti pemain All Star Asia tahun 1982, Olahragawan Terbaik
Nasional tahun 1976 dan 1981, Pemain terbaik Galatama tahun 1979 dan 1980, dan meraih
Mendali Perak SEA Games 1979 dan 1981.
Perjalanan kariernya sebagai pemain sepak bola dimulai bersama PSM junior pada tahun 1966.
Dua tahun kemudian berhasih menembus level senior tim PSM Makasar. Dari Makasar Ronny
hengkang ke klub Galatama, Warna Agung, yang dibelanya dari tahun 1978 hingga 1982.
Disinilah kariernya mulai menanjak sehingga dia pun terpilih masuk dan menjadi kapten
timnas. Tahun 1982, Ronny hengkang ke klub Tunas inti. Hanya setahun disana, dia pun
memutuskan untuk gantung sepatu dan beralih profesi sebagai pelatih.

Ada beberapa club yang pernah merasakan sentuhan tangannya, yakni Persiba Balikpapan, Krama
Yudha Tiga Berlian, Persita Tanggerang, Petrokimia Gresik, Makasar Utama, Persitara Jakarta
Utara, dan Persija Jakarta. Namun prestasi terbaik yang pernah ditorehkan Ronny adalah
ketika menangani Petrokimia Putra saat sukses mempersembahkan beberapa trofi bagi klub
tersebut yang saat ini sudah bubar dan melebur dalam Gresik United (GU). Ronny membawa
petrokimia meraih Juara Surya Cup, Petro Cup, dan runner-cup Tugu Muda Cup.
Read More..

Rembrandt van Rijn


Rembradnt lahir 15 Juli 1606 di Leiden, netherlands. Keluarganya hidup cukup sejahtera,
ayahnya bekerja di penggilingan, sementara ibunya seorang anak tukang roti. Dia adalah
pelukis Belanda yag menjadi salah satu pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa. Rembradnt
dikeal dengan keahliannya memanipulasi ekspos cahaya terhadap objek sehingga memberikan efek
tertetu di dalam lukisan.
Masa kecilnya dilewati di sekolah latin dan kemudian melanjutkan ke Uniersitas Leiden,
meskipun tercatat dalam sejarah ia jauh lebih tertarik kepada dunia melukis. Ayahnya
kemudian menyerah dan mengirimkannya untuk magang kepada pelukis sejarah terkenal Leiden,
Jacob Van Swanenbrugh. Setelah lepas dari kewajiban magang bersama Pieter Lastman di
Amsterdam, Rembrandt membuka studio di Leiden, yang didirikan dan digunakannya bersama Jan
Lievens. Pada tahun 1627, Rembrandt mulai menerima murid, salah satunya Derrit Dou
Semenjak 1631, Rembrandt telah mendapat reputasi yang baik dari penugasanya sebagai pelukisw
potret tokoh-tokjoh di Amsterdam. Selanjutnya, ia pindah ke sana dan tinggal di rumah
penyalur lukisan, Hendrick van Uylenburgh. Pada. 1656 ia pindah kerumah yang lebih sederhana
di Rozegracht.

Salah satu kutipannya yang masih tercatat hingga kini mengenai pencapaiannya dalam seni rupa
adalah “pergerakan yang terhebat dan alami”, (diterjemahkan dari frasa Belanda die meeste
ende di naetuereelste beweechgelickheijt), dalam sebuah surat yang di tulis untuk
kolegannya. Tidak begitu diketahui dengan jelas maksud pergerakan di sini, apakah mengacu
kepada objek yang dilukisnya atau emosi orang yang mnikmati lukisannya.
Rembrandt akhirnya meninggal pada 4 Oktober 1669 di Amsterdam.
Read More..

Chairil Anwar



Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara  pada 26 juli 1922. Ia merupakan anak
satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, Keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh
Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia
dijuluki sebagai “Si Bintang Jalang”     ( dari karyanya yang berjudul  Aku ), adalah
penyair terkemuka Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan
pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis
merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji
Pustaka untuk dimuat, banyak yang di tolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak
sesuai dengan Semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Puisi Chairil Anwar menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian,
individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi interpretasi.
Selama hidupnya, Chairil telah menulis puisinya sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi
kebnyakan tidak di publikasihkan hingga kematiannya. Puisi Chairil berjudul Cemara Menderai
Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949, sedangkan karyanya yang paling terkeal berjudul  Aku
dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang di duga diciplak,
dikompilasidalam tiga buku yang di terbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul
Deru Campur Debu (1949), keudian di susul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus
(1949), dan Tiga menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).
Berikut diantaranya puisi-puisi karya Chairil Anwar :


MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
Zaman Baru,

KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi





Read More..